Kaderisasi Siapa yang Butuh

Kaderisasi, khususnya di lingkungan kampus, nampaknya kembali menjadi perhatian banyak orang. Yap, setelah kasus yang menimpa salahsatu himpunan program studi di Institut Teknologi Bandung beberapa waktu silam.

Banyak orang angkat bicara, mulai dari tingkat mentri, rektor, dosen, mahasiswa, bahkan mahasiswa yang baru masuk. Pandangan mereka beragam mengenai masalah kaderisasi kampus ini. Ada pihak yang menyatakan mengecam (bahkan anti) terhadap segala jenis kaderisasi, ada juga yang tetap mendukung kaderisasi didasarkan kepada manfaat yang bisa diambil dari proses tersebut.

Baik, sebelum kita bicara lebih jauh mengenai kaderisasi, sebenarnya apa sih kaderisasi itu ? Nampaknya (bukan suudzon nih…) orang-orang masih memandang kaderisasi itu sebagai sesuatu yang tabu, kekerasan, senioritas, penyiksaan, dan lain sebagainya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kaderisasi adalah pengaderan, dan arti dari kader adalah “orang yang diharapkan memegang peran penting di pemerintahan, partai, dsb”. Pengertian ini menurut saya terlalu konvensional dan kaku, karena bila pengertian kaderisasi seperti yang diungkapkan di atas, maka seolah-olah kaderisasi itu adalah sesuatu hal yang eksklusif, karena tak semua orang tentunya dapat memegang suatu peranan penting dalam suatu perkumpulan/organisasi. Selanjutnya adalah dasar dari seseorang menjalankan kaderisasi dan atau menjadi kader juga tidak tergambar dengan jelas.

Kaderisasi dan Beli Mobil Bekas

Secara sederhana, menurut saya salah satu analogi sederhana dari kaderisasi adalah saat seseorang membeli mobil bekas (second hand). Saat pihak A membeli mobil dari pihak B, dan ijab-kabul sudah terjadi maka resmilah mobil itu menjadi milik pihak A. Akan tetapi si pihak B tidak langsung lepas tangan begitu saja, dia menjelaskan tentang berbagai cara merawat mobil tersebut, misalnya jenis bahan bakar dan oli yang dipakai. Kenapa pihak B menjelaskan hal tersebut? Hal tersebut bisa disebabkan pihak B sayang terhadap mobil tersebut sehingga dia berharap pemilik selanjutnya dapat menjaga mobil itu dengan baik. Atau bisa juga pihak B ingin agar reputasinya sebagai penjual mobil tetap terjaga.

Walaupun sedikit memaksakan 😀 , tetapi analogi di atas sedikitnya sudah bisa menggambarkan dengan lebih jelas mengenai motif seseorang melakukan kaderisasi dan atau menjadi kader. Menurut saya seharusnya kaderisasi itu dilakukan atas dasar kecintaan kita terhadap suatu perkumpulan atau organisasi yang bersangkutan. Kaderisasi, yang saya amati saat ini terlalu banyak irisannya dengan apa yang dinamakan pendidikan, pelatihan, dan lain semacamnya. Irisannya yang paling ketara adalah misalnya kaderisasi kampus yang bertujuan untuk menghasilkan output yang diharapkan, sepertnya hal ini lebih tepat disebut sebagai pendidikan kampus, atau apa lah.

Kaderisasi, bila didasarkan pada tujuan untuk menghasilkan output yang berkualitas, tampaknya sedikit terkesan janggal karena tidak jelas apa keuntungan yang bisa diperoleh para pengkader. Kalau mau kasarnya sih, “buat apa para pengkader susah-susah mengkader anak orang kalau dia sendiri sebenarnya tak mendapat untung apa-apa ??”. Maka dari itu saya berpendapat bahwa dasar dari suatu kaderisasi seharusnya bermula dari kecintaan para pengkadernya akan organisasi yang diikutinya. Setidaknya bila frame tersebut dipakai maka keuntungan yang bisa diperoleh adalah :

  1. Interaksi yang lebih harmonis antara kader dan pengkader, dimana para pengkader akan menganggap kader-kader di hadapan mereka adalah sebagai masa depan organisasi yang dicintainya.
  2. Para pengkader akan dituntut memiliki kualitas yang cukup sebagai pengkader. Karena kaderisasi ini berdasarkan atas kecintaan terhadap organisasi maka kaderisasi tak mungkin bisa dilaksanakan sebelum para pengkadernya mampu memenuhi kualifikasi yang sesuai.

Kaderisasi akan lebih bermakna bila manfaatnya bisa diterima secara dua arah, baik oleh kader maupun oleh pengkadernya. Pengkader akan merasa puas bila kader-kader hasil didikannya ternyata bisa dipercaya untuk menjalankan organisasi disaat mereka sudah tidak aktif lagi di sana. Mereka akan merasa bangga bahwa organisasi yang dulu pernah mereka ikuti ternyata bisa berubah menjadi organisasi yang besar, kuat, dan berkarakter tidak lain karena orang-orang yang menjalankannya adalah yang dulu sempat dikader oleh mereka.

Lalu untuk para calon kader sendiri sebenarnya mengikuti kaderisasi adalah sebuah pilihan, bukan kewajiban atau larangan. Karena secara kasarnya, kaderisasi adalah sebuah “tawaran kontrak kerja” dari suatu organisasi yang mengadakannya. Seperti layaknya sebuah kontrak kerja maka disana akan tercantum berbagai kewajiban dan hak yang diperoleh bila kontrak tersebut telah tersetujui. Namun disinilah sebenarnya letak pertempuran berbagai ego manusia, ada yang menganggap bahwa kehidupan kampus sambil berorganisasi itu penting dan ada juga yang menganggapnya tidak penting, buang-buang waktu. Secara sadar atau tidak sebenarnya perasaan itu adalah momentum awal dimulainya sebuah kaderisasi.

Pilihan ada di tangan masing-masing individu. Namun perlu diingat bahwa perubahan tidak akan terjadi sebelum kita sendiri berusaha untuk membuat perubahan tersebut.

Terima Kasih

April 25, 2009 at 8:42 pm 7 komentar

Hidup ini Hanya Untuk Kesenangan

Mau Kemana Setelah Lulus Kuliah.

Pertanyaan diatas sangat sering diperbincangkan oleh banyak mahasiswa, baik secara santai maupun dalam forum-forum resmi. Pertanyaan tersebut sangat penting untuk dijawab karena jawabannya akan menyangkut dengan masa depan mahasiswa sendiri dan secara tidak langsung masa depan negeri ini. Loh, apa hubungannya dengan masa depan negeri ini ??

Coba kalian ingat-ingat kembali tentang bermacam statement orang-orang mengenai perguruan tinggi. Menurut pandangan kebanyakan orang (hampir seluruhnya saya rasa) perguruan tinggi itu harus bisa menghasilkan lulusan yang mampu mendapat kerjaan dengan gaji tinggi. Nah, sekarang coba bandingkan dengan Tri-Dharma Perguruan Tinggi; pendidikan, penelitian, dan pengabdian, mau dimasukkan ke poin mana tujuan orang-orang tersebut? Nampaknya sih gak ada ya.

Berdasarkan yang saya amati terhadap teman-teman mahasiswa saya, ternyata hampir semuanya memiliki “rencana hidup” yang kurang lebih sama, khususnya setelah mereka lulus dari bangku kuliah. Rencana tersebut garis besarnya adalah :

  1. Setelah lulus mereka ingin cari kerja, kerja di perusahaan top dengan gaji yang sangat besar.
  2. Setelah cukup lama berkerja dan cukup “kaya”, baru nikah
  3. Setelah itu kembali bekerja meraih karir tertinggi dan kemapanan finansial.
  4. Dan selanjutnya menikmati hidup dengan bergelimang harta sampai ajal menjemput.

Nampaknya gak ada yang salah dengan rencana hidup diatas. Tapi, coba kalian renungkan kembali, renungkan dengan hati nurani dan logika, apakah rencana tersebut tidak terlalu sederhana??

Atau kalau mau lebay-nya sih, kenapa manusia yang merupakan suatu sistem complicated dan terintegrasi sempurna, memiliki sejarah penciptaan dan peradaban terhebat yang pernah ada malah memiliki suatu tujuan hidup yang sangat-sangat sederhana. Tidakkah seharusnya kita memiliki suatu rencana atau tujuan untuk merubah lingkungan kita, berkontribusi untuk orang lain, bahkan memajukan bangsa ini.

Selain itu, kenapa saya menyatakan rencana hidup diatas itu terlalu sederhana, yaitu karena kesemuanya itu bermuara pada satu titik yaitu nafsu akan kesenangan. Semua orang saat ini pasti bernafsu memiliki uang banyak, punya rumah dan mobil mewah, sering bepergian ke luar negeri, dan lain sebagainya. Kehidupan seperti itulah yang nampaknya menjadi tolak ukur keberhasilan seseorang, yang untuk beberapa orang sampai rela melakukan hal apapun demi kehidupan seperti itu.

Hidup memang pilihan, dan kalau kata orang sunda sih, “Hirup aing kumaha aing”, yang artinya hidup saya terserah saya. Oleh karena itu saya hanya bisa memberikan perspektif dari saya pribadi mengenai hidup ini, dan selanjutnya terserah Anda.

Terima Kasih sudah membaca tulisan ini 😀

April 20, 2009 at 7:31 am 7 komentar

Dunia Bagi Seseorang yang Dicintai

Hidup di dunia ini memang tidak puasnya. Jika bisa dunia ini pun akan kita lahap habis. Hal ini sering kali kita lupakan bahwa ada sesuatu yang sangat tidak bernilai harganya tapi sering kali kita lupakan. Bagi yang belum memiliki, sangat berharap ia ada, tapi saat ia ada ia sering terlupakan dengan alasan yang terkadang seolah olah bahwa semua itu kita lakukan untuk dirinya. Pernahkah kita bertanya apa sebenarnya yang paling ia perlukan dalam hidupnya..??

Gaji Papa Berapa?

Seperti biasa Andrew, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta , tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Sarah, putra pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu untuknya.

Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama.

“Kok, belum tidur ?” sapa Andrew sambil mencium anaknya.

Biasanya Sarah memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.

Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, Sarah menjawab, “Aku nunggu Papa pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Papa ?”

“Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uang lagi, ya ?”

“Ah, enggak. Pengen tahu aja” ucap Sarah singkat.

“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp. 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja.

Sabtu dan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa dalam satu bulan berapa, hayo ?”

Sarah berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar sementara Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Andrew beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Sarah berlari mengikutinya. “Kalo satu hari Papa dibayar Rp. 400.000,-untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp. 40.000,- dong” katanya.

“Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur” perintah Andrew. Tetapi Sarah tidak beranjak.

Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian,Sarah kembali bertanya, “Papa, aku boleh pinjam uang Rp. 5.000,- enggak ?”

Klik Untuk Baca Keseluruhan

Desember 14, 2008 at 7:40 pm 7 komentar

ITB Mau Multikampus…

Dengan dasar pemikiran bahwa semakin lama semakin banyak saja orang yang ingin dan “mampu” belajar di ITB ini, dan keadaan dari kampus yang sudah tidak memadai lagi untuk terus menerus menambah jumlah mahasiswanya, maka tercetuslah ITB sebagai kampus yang multikampus…

ITB rencananya akan “buka cabang” di Jatinangor, gedung bekas UNWIM. Sampai saat ini yang saya dengar adalah akan ada beberapa fakultas atau sekolah yang dipindahkan ke sana. Namun hal ini malahan menjadi rebutan, sebab banyak sekolah atau fakultas yang ternyata ingin pindah ke sana, seperti SBM, SITH, Geologi, Geofisika dan Meteorologi. Semuanya tentu saja dengan alasan bahwa potensi lahan di Jatinangor dapat bermanfaat bagi keilmuan mereka.

Lalu ada lagi wacana yang mengharuskan mahasiswa tingkat I ITB, atau disebut TPB, yang akan dipindahkan ke Jatinangor. Mereka akan dibuatkan mess khusus di dekat sana.

Khusus mengenai mahasiswa TPB ini, saya sedikit kurang setuju. Sebab, hal ini malahan akan lebih mematikan dinamika dan hingar-bingar kampus Ganesha. Sesuai pengamatan saya, mahasiswa TPB selama ini memberikan warna tersendiri dalam setiap kegiatan kampus.

Alasan lainnya kenapa saya tidak setuju mahasiswa TPB dipindah ke Jatinangor adalah :

  1. Akan berkurangnya interaksi mahasiswa baru dengan angkatan di atasnya, yang lebih berpengalaman. Hal ini dikhawatirkan menghambat pengetahuan mereka mengenai kemahasiswaan. Saya yakin pusat kegiatan ITB akan tetap berada di Ganesha, oleh karena itu saya khawatir nantinya pengetahuan mereka tentang berbagai kegiatan kampus akan kurang. Hal tersebut berimplikasi juga pada berkurangnya kesempatan mereka berkegiatan di unit dan himpunan.
  2. ITB sudah memiliki mess khusus mahasiswa TPB yaitu di Kidang Pananjung dan Kanayakan. Nantinya mess ini akan diapakan?
  3. (Bercanda mode 😀 ) Kampus Ganesha nantinya semakin “Gersang”… Tak ada lagi senyum lucu dari mahasiwi TPB (gak usah dianggap alasan ini mah,,,)

Konsep multikampus memang memiliki dampak positif, namun banyak juga dampak negatifnya. Apakah anda sudah memikirkan bagaimana nasib unit-unit kesenian, olahraga, dan kajian kelak bila mahasiswa ITB “dibagi” ? Lalu nasib dari perjuangan KM-ITB ?? Dan yang cukup penting adalah, apakah ITB mampu menyediakan fasilitas standar yang memadai di dua lokasi kampus tersebut?? Kampus Ganesha saja saat ini cukup parah kondisinya bila mengintip pada sebutan “world class university” 😆

Saran dari saya sebagai mahasiswa yang belum lulus adalah :

  1. Tetaplah buat ITB itu eksklusif saja, biarkan hanya 15000 orang yang dapat belajar di sana, namun lebih memerhatikan kualitas mahasiswa dan lulusannya.
  2. Lahan yang ada di Jatinangor dibuat sebagai LABTEK saja, misalnya ada LABTEK khusus biologi, meteorologi, geologi, dsb. Namun tetap para mahasiswanya belajar di Ganesha seperti biasa.
  3. (Bercanda Mode 😆 ) Kalau memang tetap ingin ada satu Sekolah atau Fakultas yang dipindah total, yah jangan SITH atau SBM. Kampus Ganesha akan semakin “Macho” saja jadinya tanpa dua sekolah itu. (Sekali lagi gak usah dianggap yang terakhir ini 😛 )

Desember 14, 2008 at 5:15 pm 27 komentar

Aktivis yang Tidak Aktif

Pantaskah Merelakan Akademik demi Menjadi Aktivis ??

Bila anda tidak membaca tulisan ini dengan benar maka anda akan melihat suatu kontradiksi antara tulisan ini dengan tulisan saya yang sebelumnya. Saya menulis tulisan ini karena saya melihat adanya suatu fenomena yang sudah biasa terlihat dalam dunia kemahasiswaan, yaitu mahasiswa yang menjadi aktivis kebanyakan adalah mahasiswa yang kurang berprestasi dalam akademisnya.

Sebenarnya perlu diteliti kembali mengenai berbagai motif dan semangat mahasiswa saat memutuskan aktif berorganisasi dalam sebuah wadah di luar keprofesiannya. Terlebih lagi ketika kegiatan organisasi tersebut (yang tak berhubungan dengan keprofesinya) memakan cukup banyak waktu melebihi waktunya untuk menunaikan tanggung jawab menyelesaikan studinya. Bisa saja mahasiswa mengikuti sebuah organisasi dan menjadi aktivis karena dia merasa tidak menemukan suatu kebanggaan akan bidang studi dan keprofesian yang ditekuninya. Mereka mungkin menemukan sebuah ketidakpuasan saat belajar di ruang kuliah, lalu mereka berusaha mencari sebuah bentuk eksistensi di lingkungan lain. Hal tersebut akan menimbulkan sebuah ketidakfokusan dan ketidakseimbangan dalam menjalani hidup mereka sebagai mahasiswa.

Saya kadang merasa kasihan saat melihat beberapa teman saya tertidur kelelahan di ruang kuliah saat dosen mengajar di depannya, terlebih saat menanyakan alasan kenapa mereka bisa kelelahan, beberapa menjawab karena semalaman mereka rapat KM (BEM-nya ITB), menyelesaikan LPJ, membuat SOP, membahas kaderisasi, dan jawaban lain sebagainya. Saya tidak mempermasalahkan apakah nantinya mereka mengerti akan materi kuliah yang diajarkan, namun tindakan seperti itu menurut saya cukup mencerminkan bahwa tidak adanya keseimbangan dalam diri mereka sebagai mahasiswa. Terlebih saya berpendapat bahwa bila seorang mahasiswa sampai tega mengorbankan akademisnya demi mengurus hal-hal lain, maka orang tersebut tidak pantas menjadi aktivis bahkan tidak pantas menjadi mahasiwa.

Jangan Jadikan Keaktifan di Luar Kuliah Sebagai Penghambat Akademis !!

Di tulisan saya sebelumnya, saya pernah menulis bahwa “jangan jadikan akademis sebagai alasan untuk bersikap apatis sebagai mahasiswa”. Kini pernyataan tersebut saya rasa kurang lengkap dan harus ditambah dengan ” Jangan jadikan hal-hal di luar kuliah sebagai penghambat meraih prestasi akademis”. Sudah seharusnya kita sadar bahwa suatu saat nanti kita akan lulus sebagai seorang sarjana dalam keprofesian kita masing-masing bukannya sebagai sarjana unit kesenian, keagamaan, ataupun kajian dan pengabdian masyarakat.

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana caranya bisa menjadi seorang aktivis dengan prestasi akademis yang membanggakan ?? Saya kira sangat banyak di luar sana yang telah sukses menjadi orang seperti itu. Intinya adalah kita harus pandai mengukur kemampuan diri sendiri. Bila kalian termasuk orang yang dikaruniai otak cerdas (sekali buka buku langsung mengerti), maka kalian tentunya memiliki banyak waktu senggang untuk beraktivitas lainnya, namun bila kalian merasa memiliki kemampuan biasa-biasa saja (bahkan cenderung belet seperti saya 😀 ) maka kalian seharusnya sadar diri untuk berusaha lebih keras dalam menyelesaikan studi kalian.

Permasalahannya adalah akademis itu bersifat mutlak dan parametris. Rektorat bisa dengan mudah men-drop out mahasiswanya yang memiliki nilai buruk, namun tak akan ada hukuman apapun kepada para mahasiswa yang bersikap apatis. Hal inilah sudah seharusnya dipahami oleh setiap mahasiswa dan jadikanlah sebagai sebuah tantangan yang diselesaikan dengan “elegan” bukannya nekat atau bodoh.

Saya sangat menghargai bahkan mengagumi para teman-teman mahasiswa yang mampu menjadi seorang aktivis di luar bidang kuliahnya serta berprestasi dalam akademisnya. Saya pun hingga saat ini sedang berusaha untuk menjadi orang seperti itu walaupun nampaknya masih jauh…

November 30, 2008 at 4:28 pm 7 komentar

Older Posts


Sekilas Diriku

'Seorang manusia normal yang memiliki keinginan normal untuk menjadi orang yang tidak normal'

Banner


Awas Nanti Kepala Bocor

RSS Berita Bola

  • Sebuah galat telah terjadi; umpan tersebut kemungkinan sedang anjlok. Coba lagi nanti.

Arsip